Kamis, 13 Mei 2010

Kerusuhan Mei 1998


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

       Saya teringat 12 tahun lalu merupakan sejarah yang tidak akan pernah terhapuskan di benak rakyat Indonesia, begitupun di benak saya......this story....           
       Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
     Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Hal yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
          Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
          Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian terhadap orang Tionghoa.
           Dengan kejadian tersebut dibuat sebuah film yang mengangkat kembali tragedi di bulan Mei 12 tahun yang lalu. Saya juga sempat menonton film ini, film yang berjudul "May" yang memang beda dari film yang sedang "in" pada saat itu. Dua jempol buat film ini benar-benar bisa membuat saya berad dalam alur cerita film tersebut. Dibawah ini saya memberikan sedikit resensi dari film ini.

 "May", Mengangkat Kembali Tragedi Mei 1998
            Bulan Mei sepuluh tahun silam, Indonesia mengalami peristiwa kelam yang penuh pergejolakan di bidang ekonomi, serta politik. Dan di bidang sosial, terjadi pen-deskridit-an kepada salah satu etnis tertentu.
Dengan mengambil latar dari kejadian tersebut, Flix Pictures yang sebelumnya pernah membuat film Dealova coba menampilkan sebuah film kemanusiaan yang dibalut dalam cinta dan sejarah, bertajuk May. Ditemui dalam jumpa pers film tersebut pada Senin (22/4) malam di sebuah rumah makan di bilangan Senopati, Jakarta Selatan, Viva Westi selaku sutradara dalam film ini mengaku cukup kesulitan dalam mencari sudut pandang dari kerusuhan itu.
           ”Tidak mudah mengambil sudut pandang dari cerita yang tidak menyenangkan,” jelas Westi. Ditambahkan oleh Westi, kesulitan yang ia hadapi tidak hanya pada penyusunan cerita yang tidak menyinggung perasaan kelompok orang tertentu, tetapi juga dalam pencarian lokasi. “Jakarta sudah berubah selama 10 tahun terakhir ini, itu sebabnya mengapa kita memilih kota Semarang sebagai pengganti lokasi yang harusnya di Jakarta,” ujar Westi yang mengaku memboyong bajaj serta segala yang berbau Jakarta ke Semarang. “Menjadikan Semarang menjadi Jakarta,” tambahnya.
           Film May sendiri bercerita mengenai sepasang kekasih Antares (Yama Carlos) dan May (Jenny Chang) yang berbeda suku, namun harus terpisah karena peristiwa yang terjadi di bulan Mei ’98. Saat itu, di tengah pergolakan yang begitu tinggi, sekelompok orang menculik May dan memperkosanya, sedangkan Antares yang tidak menjemputnya saat itu, tengah disibukkan dengan perannya sebagai seorang pembuat film dokumenter di tengah momen bersejarah itu.
          Tidak hanya terpisah dengan Antares, namun May juga harus terpisah dengan sang Bunda yang juga mengungsi dari rumahnya di tengah pusat kerusuhan ke sebuah hotel. Di dalam pengungsiannya, Mama May (Tuti Kirana) menukarkan sertifikat rumahnya dengan selembar tiket pesawat ke Malaysia kepada seorang pekerja Laundy rendahan bernama Gandang (Lukman Sardi).
         Namun 10 tahun kemudian, semua kejadian masa lampau kembali menyeruak di benak mereka, setelah Antares yang mencari keberadaan May dan menemukannya di Malaysia dengan keadaan telah memiliki seorang anak dari Jurnalis asing yang menyelamatkan May di hari yang naas itu. Akankah pertemuan mereka dapat mengobati semua yang terkoak di masa lalu dan saat ini. 

Tidak ada komentar: